Wednesday, May 9, 2012

LALU...? (#fiksiminiLALU #fiksicyberLALU)

Posted by FRISTHYA PRATIWI at 5/09/2012 08:54:00 PM 0 comments
"Jangan menungguku" itu kata Fazzy pada gadis muda di sampingnya.

Fazzy tak habis pikir, keisengannya berakibat fatal. Ya, dia jadi benar-benar mencintai gadis itu. Awalnya untuk mengisi kekosongan hatinya, dia iseng menyatakan cinta pada seorang gadis yang pernah dia tau, walau belum kenal dekat. Cinta itu datang seiring berjalannya waktu. Cinta yang sebenarnya tak pernah dia inginkan. Cinta yg membuatnya kini bingung untuk memilih.

Gadis muda itu bernama Belia Pertiwi. Berparas manis, berkulit putih, tinggi langsing, keturunan Sunda-Jerman. Oh ya, berambut ikal panjang agak pirang. Tetapi bukan karena parasnya yg membuat Fazzy jatuh cinta.
"Aku mencintaimu karena, hanya kamu yg bisa membuatku benar-benar menjadi diriku sendiri. Aku tak perlu jadi siapa-siapa di hadapanmu. Dan kamu tak protes dengan itu. Ya, aku benar mencintaimu, Bell.." Ucap Fazzy pada Belia yg sedari tadi menunggu Fazzy di Taman Kota.
"Lalu, kamu terlambat? Untuk apa bila cinta?" Belia tetap dengan tatapan manja dan senyum manisnya. "Oh, aku tau.. Kamu habis jadi supirnya lagi kan? Kamu terlalu diperbudak oleh cinta matimu, Zieg.." Senyumnya tak berubah. Muka Fazzy pun hampir saja bersemu merah akibat dipanggil Zieg oleh Belia. Zieg adalah panggilan sayang dari Belia untuk Fazzy.

"Maafkan aku, Bell.."
"Untuk apa? Kamu tak butuh maafku. Kamu hanya butuh cintanya. Walau dia tak begitu padamu."
"Aku menyesal meninggalkanmu, Bell.. Oh ya, aku lihat rambutmu semakin terawat dan wangi, Bell.."
"Zieg, jangan mulai mengalihkan pembicaraan dan menggombali aku dengan bibir manismu."
"Bibir manisku? Kamu pernah merasakannya ya? Heemm?" Fazzy memainkan matanya genit.

Dan lalu, Taman Kota itulah yang menjadi saksi bahwa kisah mereka ada. Kisah cinta Fazzy dan Belia. Cinta yang tumbuh perlahan.

***

Flashback~
Sebenarnya Fazzy telah bertunangan dengan mantan pacarnya sebelum Belia. Setelah 5 bulan menjalani kisah dengan Belia, cinta pertama Fazzy muncul secara tiba-tiba. Cinta pertama yang selalu sulit untuk dia lupakan. Kemudian? Belialah yang harus mengalah dalam kisah ini. Dia sangat ikhlas, demi senyum orang yang dia sayangi. Lima bulan cukup untuk membuat Belia jatuh cinta dan memberi hatinya utuh pada Fazzy.

Setelah 2 tahun Fazzy dan Frizka, cinta pertama Fazzy berpacaran, orang tua mereka mengusulkan agar mereka lebih serius lagi. Tunangan. Itu usul mereka. Belia tetap tersenyum. Manis. Walau Fazzy tau, di hatinya ada tangis. Fazzy mengerti perasaan Belia yg sangat hancur saat Fazzy menerima usulan keluarganya. Tetapi, hidupnya harus tetap berjalan, walau perasaan bersalah dan kasihan itu tertumpuk di dalam dadanya. Fazzy mencintai kekasihnya, Frizka.

"Bila kamu mencintainya, aku bisa apa? Yakinlah, aku baik-baik saja, Zieg.. Aku hanya butuh waktu untuk sendiri. Dan mencoba untuk melupakan bayanganmu." Sms Belia pada Fazzy.

Dari awal kembalinya Fazzy pada Frizka, Fazzy memutuskan untuk tetap berteman dengan Belia. Karena menurut Fazzy, Belia adalah seorang gadis yg asik diajak curhat dan dia tak mau kehilangan itu. Tetapi tidak demikian dengan Belia. Fazzy tidak tau, dengan curhatannya itu sering membuat Belia menangis, walaupun senyumnya tetap saja menawan. Belia pintar menyembunyikan perasaannya dengan rapat, hingga seolah-olah dia benar-benar telah melupakan kisah cintanya dengan fazzy dua tahun lalu, seratus persen.

"Zieg, kenapa kamu kurang peka terhadap perasaanku? Kamu sebut namanya berulang kali, kamu cambuk hatiku dengan rasa tangismu karena kamu tidak bisa benar-benar meninggalkannya.. Aku yakin, kamu sesungguhnya tak pernah tau keadaanku.." Sms itu diketik Belia, tetapi urung untuk dia send pada Fazzy. Dia mengklik option lalu menyimpan sms itu di draft. Kemudian, "semoga langgeng ever after sampai pelaminan ya, Zieg.." Sms itu dia kirim pada Fazzy. Terkirim. Setelah itu, Belia mencabut batre telpon genggamnya, lalu menyimpan benda itu di dalam laci kamarnya, agar benar-benar dipastikan Fazzy tidak bisa menghubungi hingga beberapa bulan ke depan.
Sehari setelah sms terakhir dan pertunangan Fazzy yang sudah 3 hari itu, Belia benar-benar menghilang. Fazzy kehilangan tempat untuk menuntaskan masalahnya. Ya, lebih tepatnya dia kehilangan tempat curhat. Ditemui di rumahnya, hanya ada penjaga yg mengatakan, "Maaf a', rumahnya sudah dijual. Saya tidak tau pindah kemana." Fazzy terdiam.

Sebenarnya, Belia pulang ke Jerman dan mengatakan pada penjaga rumah bahwa rumah itu telah dijual. Dia hanya butuh waktu sebentar untuk menata hatinya kembali. Heloo... Dua tahun berpura-pura baik-baik saja itu, rasanya seperti wajahmu tersiram air keras! Perih! Dan apalagi puncaknya adalah, ketika Fazzy memilih untuk tunangan dengan kekasih lamanya itu.

Di Jerman, Belia belajar mengikhlaskan Fazzy dengan menekuni lagi bakatnya di bidang seni. Cuti kuliah dua semester di salah satu Universitas di Bandung pun dia lakukan demi itu. Orang tua Belia yg memang tinggal di Jerman merasa senang dengan kembalinya Belia di Negara itu. Walaupun hanya dua semester.

Tidak sulit bagi Belia untuk mengembangkan bakatnya di bidang seni. Lukisan dan musik adalah jiwanya. Bakat turunan dari Papinya yang asli dari Jerman itulah yg menyebabkan dia mencintai seni. Dengan mendaftar di sebuah tempat kursus seni lukis, di akhir semester kedua, dia sudah lulus untuk menggelar pameran. Pameran bertemakan siluet cinta pun dia kemas dengan sangat apik. Rencana awalnya, jika sukses menggelar pameran, Belia mengurungkan niat untuk kembali ke bangku kuliah dan kembali menemui Fazzy.

Kolega Papi dan Maminya yang kebetulan banyak berprofesi sebagai kolektor lukisan pun ikut menghadiri pamerannya. Tetapi, setelah lukisan wajah Fazzy yang terpaksa dia pajang dengan frame minimalis namun mewah itu ditawar oleh kolektor lukisan di Jerman yang kebetulan kolega Papinya dengan harga tinggi, otak Belia pun berontak. Rencana awal yang telah dia susun, dibuangnya jauh-jauh. "Tidak ada yang boleh memilikinya kecuali aku. Walaupun itu hanya lukisan dia dan di hatiku."

Tepat pukul sembilan pagi, urusan administrasi Belia di Jerman selesai. Siangnya dia diantar kakak sepupunya ke bandara dengan penerbangan menuju Jakarta. Untuk kemudian dia lanjutkan transitnya menuju Bandung.

Di hari yang sama, di Negara yang berlainan, Fazzy yang hampir putus asa mencari Belia, merenung di kamar tidurnya. Alunan lagu favorit mereka berdua adalah backsound-nya. "Hampir setahun kamu tak ada kabar, Bell.. Maafkan aku melukai perasaanmu yg terlalu halus itu." Foto rangkulan yang diambil saat awal jadian itu dipandangi Fazzy dari layar komputer di kamarnya. Fazzy menyadari ada ruang yang tiba-tiba kosong saat Belia pergi. Sebuah ruang di dalam hatinya, yang bahkan tak pernah Frizka tempati. Dia tak tau pasti nama ruang itu, yang jelas ada rindu yang terukir disitu. Fazzy tertidur di depan komputernya. Masih dengan gambar rangkulannya bersama Belia beberapa tahun lalu, tanpa screen saver tentunya. Fazzy terbangun setelah lewat tengah malam. Dan dia baru menyadari yahoo messenger berkedip-kedip. Setelah dia buka, ada senyum di wajahnya yg ngantuk itu kemudian.
"Buzz"
"Buzz"
"Buzz"
"Zieg.. Zieg.. Main yuukk.." - two hours ago. ibel_ia was sign out.
"Tuhan, aku mencintaiMu...!!" Ucap Fazzy sambil menyeka genangan air matanya.

Ya. Belia kembali ke Tanah Air...

***

Back at first~
Agak siang, Fazzy menerima sms pendek dari nomor yang tidak dia kenal. Nomor baru Belia.

"Aku tunggu kamu sore ini. Di tempat biasa. Aku akan menunggu sampai kamu datang. Masih ingat bangku cinta itu kan? Aku harap kamu masih mengingatnya walau sudah hampir setahun lebih...."

Tentu saja Fazzy tak dapat menyembunyikan perasaannya. Tentu saja dia juga tidak pernah melupakan bangku cinta di tempat yang tak biasa itu. Tempat dia pertama kali bertemu lagi dengan Belia setelah SMP dulu. Tempat yang selama hampir setahun ini selalu dikunjungi Fazzy untuk dapat bertemu Belia yang tiba-tiba menghilang. Tempat mereka bertemu secara diam-diam.

Fazzy tidak datang sore. Tepat pukul delapan malam dia baru tiba disana. Ya. Belia tetap menunggunya. Di sebuah bangku tua, di Taman Kota. Dan setelah kedipan genit dan sebuah kecupan manisnya pada Belia malam itu, rindu setahun yg berkecamuk di dadanya, hilang. Ya, Taman Kota itulah saksi kisah mereka. Kisah yg tertutup waktu.
Beberapa hari kemudian, Belia kembali ke kampusnya, mengurusi perkuliahannya di semester baru, menemui teman-teman seangkatannya, duduk di taman kampus, makan mie ayam, nyemil cireng, dengan hati yang lapang. Sekarang dia mulai mengikhlaskan segalanya.

"Tuhan pasti ada rencana dibalik ini. Mungkin Fazzy hanyalah sebuah batu loncatan menuju kebahagiaanku yg masih tertunda. Tiga tahun setelah hubungan itu, aku belum pernah membuka hati lagi. Aku lupa rasanya jatuh cinta pada lelaki selain kamu, Zieg.." Batinnya, ketika sepi benar-benar menerpanya di taman kampusnya itu. Belia berdiri dari duduknya, melihat layar telpon genggamnya yang sedari tadi di senyapkan. Dia yang tak pernah mengganti telpon genggamnya itu, baru menyadari bahwa dia agak menyesal memberi nomor telponnya lagi. Beberapa panggilan tak terjawab, sms, buzz pada ym, dan ping pada bbm-nya. Semua itu dari seseorang yang tak perlu disebutkan lagi namanya. Belia hanya tersenyum, lalu memasukkan benda kecil itu kembali ke dalam tas jinjing. Yang terbaca hanya, "Dimana? Aku jemput ya?" Di bibir manisnya terucap, "Aku bukan kekasih manjamu itu, Zieg.. Aku gadis mandiri. Aku masih bisa sendiri.." Lalu dia beranjak menuju parkiran mobil, membawa mobilnya pergi keluar dari kampus.

Hari-hari berikutnya Belia agak susah ditemui dan dihubungi. Selain pindah ke Apartment, Belia juga mengganti nomor telponnya lagi. Hasil pameran lukisannya lumayan untuk membayar uang muka dan setengah dari harga apartment itu. Fazzy hanya bisa menunggu Belia yang menghubunginya duluan, atau menunggu Belia online ym. Karena ketika dia mencoba untuk menghubungi Belia lewat bbm tak pernah dibalas, dan ditelpon nomornya tidak lagi aktif.

"Aku kehilangan Belia yang dulu.." Ketiknya putus asa pada status bbmnya yang terlihat seperti sebuah kode, agar dibaca oleh Belia dan berharap Belia membalasnya. Dia bahkan sudah 'bodo amat' jika status itu tiba-tiba menghancurkan hubungannya dengan Frizka. Belia yang tak mengganti telpon genggamnya itupun membaca recent updates dari Fazzy. Dia meneteskan air matanya. "Maafkan aku.." Ucapnya lirih dalam hati.
Bandung malam ini dingin sekali. Belia memutuskan untuk turun dari apartmentnya lalu mencari kafe yang sedikit agak sepi untuk menulis lirik lagu. Tugas kampus perdananya setelah cuti dua semester. Tidak terlalu sulit baginya untuk menyelesaikan tugas itu. Satu jam setengah, rampung. "Tinggal mencari nadanya saja nanti.." pikirnya sambil meneguk kopi hitamnya di gelas yang ke empat. Setelah merasa perutnya kosong, dia pun memesan semangkuk salad buah dan eskrim stroberi. Tepat pukul sebelas malam, ketika dia mengeluarkan dompet untuk membayar bill makannya selama 3 jam disana, Belia heran karena kasir kafe tersebut mengatakan bahwa semua makanannya telah dibayar dengan pria yg duduk di meja 25 tadi.
"Siapa mba? Saya tidak melihat siapapun disitu.." Tunjuk Belia pada meja itu.
"Ya, mas nya sudah pulang lebih dulu.." Jawabnya.
"Mana bill meja nomor 25? Saya mau lihat atas nama siapa." Pinta Belia penasaran. "Zieg..." Ucap Belia lirih.

Belia mengemudi mobilnya santai. Ketika melihat kaca spion mobil, dia baru saja menyadari kalau Fazzy mengikutinya. Di belokan sebuah perumahan Belia berhenti tiba-tiba. Lalu turun dari mobil. Fazzy tentu saja kaget, aksinya ketauan telak. Dia pun turun dari mobilnya.
"Mengikutiku..?" Selidik Belia.
"T-tidak kok..." Jawab Fazzy sambil mengalihkan matanya ke sebuah pohon.
"Kalau tidak berbohong, kenapa tidak menatapku? Malah memandangi pohon tua jelek itu. Bodoh!" Selidiknya lagi sambil menahan tawa, melihat kelakuan Fazzy yang tiba-tiba keringatan, padahal udara malam itu dingin. "Pulanglah, Zieg.. Aku tak butuh kamu ikuti. Biarkan aku menjadikanmu sebagai kenanganku." Belia mendekati Fazzy, lalu memeluknya erat. "Biarkan aku ikhlas melepasmu dengan dia yg sudah tentu kamu sayang. Bukan denganku, yang menyayangimu." Bisiknya. Air mata Belia mengalir di bahu Fazzy, terasa hangat, sehangat pelukannya di malam yang dingin itu.
"Tapi..."
"Kamu bisa tanpa aku, dan aku juga harus bisa tanpa kamu. Untuk sekarang, biarkan aku mencintai diriku sendiri." Belia melepaskan pelukannya, lalu meninggalkan Fazzy yang masih mematung dengan penyesalannya.
"Tapi aku benar-benar mencintaimu, Bell...." Ucap Fazzy setelah Belia dan mobilnya melaju dan menghilang di sebuah tikungan.

***

Lima bulan berlalu~
Besok, besoknya lagi, besoknya lagi... lagi... lagi... lagi... Belia agak tenang dengan kehidupannya. Dia menjalaninya dengan wajar. Seperti disaat dia belum bertemu kembali dengan Fazzy. "Mungkin Fazzy sedang sibuk dengan kuliahnya... Atau sibuk dengan tunangannya?" pikir Belia sepintas yang kemudian ditegur oleh dosennya.
"Ehem... Sangat terlihat, orang yang serius bermain biola dengan yang sedang termenung seperti anda, Nona Richie. Maaf jika saya menegur anda. Ini yang ketiga kalinya anda tidak konsentrasi di kelas saya hari ini. Satu kesempatan lagi, atau anda tidak usah masuk ke kelas saya dipertemuan berikutnya."
"Sorry, Sir. Can you not mention my dad's name, please?" Belia sangat tidak suka bila nama Papinya dibawa-bawa jika yang melakukan kesalahan itu dirinya sendiri.
"Bermain dengan konsentrasi, atau keluar dari kelas saya!"

Belia tidak pernah mengerti dengan dosennya yang satu itu. Beliau tau tentang Papinya. Bahkan beliau selalu mencari-cari titik kesalahan Belia, sekecil apapun itu. Mungkin ada sesuatu di masa lalu yang tidak Belia ketahui. Bahkan sama sekali tidak ingin dia ketahui. "Ga penting..." itu jawab Belia ketika Ruddi, teman sekelasnya di semester baru itu bertanya, "Sensi banget sih tuh si BREWOK! Kenapa sih dia? Masalah banget kayanya sama kamu, Bell.."

Ruddi Thorsten, teman baru yang sekarang sekelas dengan Belia, satu angkatan dibawah Belia. Tetapi Ruddi dua tahun lebih tua dari Belia. Thorsten adalah nama Jerman dari Ruddi, Mamanya asli Jerman dan Papanya adalah seorang pengusaha Restoran rumahan di Jerman, asli Tasikmalaya. Ruddi sendiri baru kembali ke Indonesia sekitar setahun yang lalu. Dia kembali karena mantan kekasihnya semasa SMA di Jerman dulu, melangsungkan pernihakan di Bandung, dan dia diharuskan untuk datang oleh mantannya itu, seperti janji mereka di masalalu. Ya, Ruddi adalah lelaki tegar yang pernah ditemui Belia. Bahkan dia tak segan menceritakan masalalunya pada Belia yang baru sekitar dua bulan dia kenal. Hanya karena secara tak sengaja Ruddi mendengar Belia berbicara dengan bahasa Jerman saat menerima telpon dari Maminya. "Ich bin ein guter mommy" jawab Belia pada pertanyaan Maminya. Kemudian ditutup oleh "liebe dich auch..."

Dengan caranya, Ruddi menegur Belia dengan bahasa Jerman, mengajaknya berkenalan, dan mereka pun masuk kedalam pembicaraan yang panjang.
"Schön zu wissen, dass Sie Belia.. Kamu baik sekali". Puji Ruddi pada Belia. Belia tersenyum manis, sama seperti senyumnya pada Fazzy, bahkan lebih manis. "Lain kali bisa jalan bareng kan? Aku perlu orang yang mengingatkanku jalanan serudet di Bandung ini.." Tanya Ruddi di akhir pembicaraan mereka.
"Mit meinem Vergnügen.. Tapi tarif argo perbuka pintunya lima belas ribu ya?" Jawab Belia yang kemudian disambut tawa oleh mereka berdua.
Ruddi dengan fisik yang ideal dimata Belia ini, semakin hari semakin mencuri perhatian Belia. Kulitnya berwarna sawo matang dan bersih terawat, tubuhnya tinggi atletis, matanya hitam pekat, rambutnya lurus, agak panjang, dan tertata rapih walau diacak-acak sekalipun, kemudian matanya redup, dan satu hal yang mampu membuat Belia tak berhenti menatap Ruddi, ketika Ruddi tersenyum dan tertawa. Manis. Manis sekali. Lesung pipi dan gingsulnya benar-benar membuat Belia gemas.

"Apa iya aku jatuh cinta pada Ruddi?" Tanya Belia dalam hati, saat jam makan siang di sebuah kafe dekat kampusnya, seusai mata kuliah Komposisi dan Aransemen. Dikunyahnya nasi tim merah dan sepotong ayam panggang lambat-lambat. Ketika mau menyuapkan suapannya yang terakhir, ketika itu pula dia melihat Ruddi memasuki kafe yang sama. Dia tidak sendirian. Ada perempuan cantik di sampingnya. Menggandeng tangannya erat. "Sepertinya mereka sedang bahagia.." Belia urung menyuapkan makanannya yang terakhir itu. Dia memilih untuk meneguk minumannya lalu mengeluarkan notebook dari dalam tasnya. Tiba-tiba nafsu makannya menghilang.

Sedangkan di meja yang lain, Belia diam-diam memperhatikan Ruddi walau sebenarnya dia tidak mau melihatnya. Tapi semakin Belia tidak mau memperhatikan, semakin dia penasaran siapa perempuan yang bersama Ruddi. "Ruddi tak pernah cerita kalau dia punya teman dekat. Halah! Bodoh sekali aku ini! Tak mungkin dia utuh menceritakan tentang hidupnya padaku. Atau bahkan tentang mantan pacarnya itu, hanya rekayasa untuk menarik perhatianku? Ayolah, Bell..!! Sedikit saja jangan bodoh! Dia bukan siapa-sia......." Perang batinnya tiba-tiba berhenti ketika Belia mendengar namanya jelas disebut pada pembicaraan itu. Pembicaraan antara Ruddi dan perempuan cantik itu.

"Oh.. Namanya Belia? Kenalkan padaku....!! Aku ingin melihatnya..." Terdengar sangat antusias. Perempuan itu menunjuk-nunjuk kertas A4 di meja makan mereka, yang ternyata itu lukisan wajah Belia yang dilukis oleh Ruddi dengan pensil lukisnya.
"Ayolah, Carl... Jangan berisik.. Disini banyak anak kampus. Aku ga mau mereka tau kalau aku suka diiiii..." Ucapan Ruddi terputus, ketika kedua matanya tepat menatap Belia yang juga sedang menatapnya. "Deg.....Deg......Deg...." Terasa detak jantung Ruddi berdetak satu-satu. Hampir saja napasnya tersekat. Mukanya bahkan sedikit pucat. Carla bingung dengan perubahan kakaknya yang secara tiba-tiba itu.
"Kak, kamu baik-baik saja kan?" Carla mengikuti arah tatapan Ruddi. "Sepertinya aku pernah melihat wanita ittttt..." Carla kembali melihat lukisan wajah Belia pada kertas. "Ya! Benar! Dia pasti wanita ini..!!" Carla benar-benar antusias dengan antuisinya yang selalu meledak ketika penasaran.

Carla kembali menunjuk-nunjuk lukisan Belia pada kakaknya. Tiba-tiba Ruddi tersadar. Lalu merampas kertas yang sedang dipegang adik sematawayangnya itu. Kertas itu kemudian dia lipat dan dimasukkan ke dalam tas.
"Dia yang di lukisan kamu tadi kan?"
"Bukan.."
"Iya! Jelas banget miripnya..!!"
"Carlaaa, Please.."
"Kakaaaak, Pleaseee..." Carla meledek kakaknya yang wajahnya semakin memerah semu.
"Caaaaarl...."
"Kaaaakk....." Carla memainkan matanya dan hampir saja mulutnya mangap dan meneriakkan nama Belia. Tapi gagal karena tangan Ruddi lebih cepat menutupi mulut adik usilnya itu.

"Hehe..." Ruddi menunjukkan gigi-gigi lucunya pada Belia. Menutupi rasa malunya akibat adiknya. Tentunya sambil menutup mulut adiknya dengan kedua telapak tangannya. Senyum Ruddi tiba-tiba berhenti ketika dia merasa ada yang menjilati telapak tangannya. Ya. Carla menjilatinya.
"Kamu jorok banget sih..." Ujarnya kesal sambil mengelap telapak tangannya dengan tisu.
"Aku ga bisa napas kakak. Nanti kalau muka aku pucat kaya kakak tadi gimana?" Kemudian cubitan maut Ruddi pun mampir di pipi tembem Carla.

Jarak empat meja dari meja Ruddi, Belia tertawa kecil melihat kelakuan mereka. Belia kini bisa menyimpulkan, mereka berdua itu bukan sepasang kekasih. Tetapi sepasang kakak dan adik (yang usil).
"Kamu lihat itu, Carl.. Lihat senyumannya! Dia cantik ya..?" Bisik Ruddi pada adiknya. Di alam bawah sadarnya. Masih mengelap telapak tangannya.
"Iya, Kak! Dia cantik banget!" Jawab Carla lantang, dan lagi-lagi membuat Ruddi malu dan mencubit pipi adiknya itu. Belia menahan tawanya dengan tangan kanan, dan sedikit terbatuk. "Kak, kitakan belum mesen nih.. Pindah kesitu yuk..?" Ajak Carla.
"Carla, jangan macem-macem!"
"Satu macem doang kok, Kak..." Carla melengos, membawa tasnya pindah menghampiri meja Belia. Ruddi menutup matanya. Berharap setelah membukanya, dia sudah berada di rumah, dan kejadian tadi tidak pernah terjadi. Tapi...
"Kak...!! Ngapain diem disitu? Sini dong..." Teriak Carla. Dengan langkah perlahan dan sedikit 'stay cool', Ruddi memberanikan diri menghampiri Carla yang terlihat cepat akrab dengan Belia. Sebenarnya bukan cepat akrab. Tapi terlihat seperti sok akrab.

"Dasar Carla!" Ucap Ruddi dalam hati.

***

Beberapa bulan ini, Fazzy sudah jarang menghubungi Belia. Pernah, tapi hanya lewat bbm saja.
"Apa kabar, Bell? Sedang apa?" Bbm Fazzy, tapi sama sekali tak ingin dibalas oleh Belia. "Kamu kenapa? Sudah hampir setengah tahun tak mengabariku dan tak membalas bbmku. Aku tau telponmu tidak kamu ganti. Hanya nomornya saja yang kamu ganti. Ya kan? Aku ada salah?" Bbm dari Fazzy lagi.
"Tidak. Sedang tak ingin." Hanya itu yang dikirim oleh Belia dan cukup.

"Aku harap kamu mencintaiku bukan karena kasian atau kesepian dan butuh teman saja, Zieg.." Batin Belia. "Maaf, aku bukan ingin membalas dendam atas sakit dan waktuku yang terbuang olehmu. Aku hanya mau kamu sadar, hatiku perlu dihargai." Ucapnya lagi pada dirinya sendiri, sambil mengelap air matanya yang mengalir, membasahi pipi kotor bekas elusan tangan tunangan wanita lain, beberapa bulan yang lalu itu.

"Aku ingin bertemu malam ini. Ditempat biasa. Harus bisa. Aku tunggu sampai kamu datang." Bbm Fazzy lagi kemudian.
"Aku sudah ada janji. Maaf."
"Tolong, kali ini saja. Aku butuh kamu."
"Zieg, maaf..."
"Akan tetap aku tunggu" Bbm yang terakhir dari Fazzy membuat Belia bimbang. Janjinya dengan Ruddi sudah sejak seminggu yang lalu. Ya, menemani lelaki manis itu dan adik usilnya yang baru saja datang dari Jerman untuk liburan. Menemani mereka menjelajahi tempat yang belum pernah mereka temui di Jerman. Mereka sudah merencanakan untuk menginap dan melanjutkan perjalanan ketika subuh terbit. Mungkin seminggu.

"Rudd, maaf perjalanannya bisa ditunda sampai besok siang? Aku ada urusan sedikit..." Telpon Belia pada Ruddi. Tepat setelah dia berpikir bahwa mungkin Fazzy memang benar-benar membutuhkannya.
"Kita sih tergantung Fremdenführer aja, Bell.." Jawabnya sambil sedikit tertawa. Meyakinkan kalau permintaannya tidak ditolak.
"Danke"
"Bitte, Bell.."

Pukul 8 malam.
Belia turun dari mobil Ruddi. Belia meminta Ruddi menemaninya saat bertemu dengan Fazzy malam itu. Tersirat raut kaget pada wajah Fazzy. Dia bertanya-tanya siapa lelaki yang datang bersama Belia itu.
"Emmm... Sepertinya aku tunggu di mobil aja deh, Bell..." Pamit Ruddi pada Belia yang agak tidak enak bercampur takut, kalau-kalau ada pernyataan cinta malam itu. Pernyataan yang akan disusul duluan oleh lelaki yang belum pernah dia kenal itu sama sekali.
"Ih... Di mobil? Disini saja.. Oh ya, Zy, ini Ruddi. Rudd, ini Fazzy. Dia teman lama aku waktu sekolah dulu... Kenalan dulu dong, mungkin kalian bisa jadi sahabat.." Ujar Belia, disambut jabat tangan dari mereka berdua.
"Oh.. Hai..." Ucap mereka bersamaan.
"Kamu ada perlu apa ingin bertemu aku malam ini?" Tanya Belia pada Fazzy kemudian. Sebenarnya niat Belia mengajak Ruddi ke Fazzy adalah sekedar ingin menunjukkan padanya sebuah alasan agar Fazzy tidak lagi mendekatinya, mengajaknya keluar, atau sekedar mengirim bbm di tengah malam. Ya, menunjukkan bahwa sudah ada lelaki lain yang mampu masuk ke kehidupannya.
"Eh, maaf telpon aku getar. Kayanya dari Carla. Aku permisi ya..." Alasan Ruddi agar tidak mengganggu pernyataan Fazzy ke Belia malam itu. Ruddi memilih pergi kemudian kembali ke mobil dan mengangkat telpon adiknya disana.

"Cie yang sudah punya penggantiku. Sepertinya dia lama tinggal di luar negeri ya?" Selidik Fazzy.
"Jangan sok tau kalau kamu tidak tau persis keadaannya. Iya, dia baru setahun kembali lagi kesini."
"Kenapa marah sih? Aku hanya bertanya..." Jawab Fazzy sambil merogoh isi tasnya. Mencari sesuatu. "Ini untuk kamu... Aku harap kamu masih ingat kejadian empat tahun yang lalu di tempat ini, sebelum Frizka kembali ke kehidupan aku dan sebelum lelaki bernama Ruddi itu hadir di kehidupan kamu." Kemudian ada helaan nafas panjang pada keduanya. Ada rasa yang sama-sama tak tersampaikan. Rasa ingin memulai semuanya dari awal. Rasa saling cemburu. Rasa yang sama sekali tak mereka inginkan untuk muncul. Rasa ingin saling memiliki (kembali) barang kali.

"Tapi kita bukan lagi sepasang kekasih yang merayakan anniversary setiap tahun kan? Bahkan aku sudah tak lagi pantas memiliki senyum dan jabat tanganmu, Zy.."
"Kenapa Zy? Kenapa bukan Zieg?"
"Karena sudah tidak pantas. Ayolah, kamu mencintainya, tunanganmu. Bukan aku. Jangan memberiku harapan lagi untuk terus mencintaimu. Cintai saja dia. Jangan aku."
"Tapi..."
"Tapi apa? Tapi kamu sudah mulai mencintaiku? Kamu terlambat. Kamu kemana saja selama ini? Kamu tinggalkan aku demi dia. Kamu biarkan aku terus mencintaimu dan menunggumu berharap suatu hari kalian pisah dan kita bisa kembali lagi. Tidak Zy. Tidak lagi. Aku lelah." Air mata Belia kemudian tumpah. Semua rasa yang berkecamuk dan dia simpan sendiri itu terluap begitu saja. Satu kata yang dia rasakan saat itu. Lega.
"Maafkan aku, Bell... Aku tak tau apa yang kamu rasa selama ini. Aku tak tau kamu masih menyimpan rasa itu. Tapi rasa bersalahku muncul menjadi sayang ke kamu. Aku hampir berhasil mengatakannya padamu, tapi kamu selalu saja menggagalkannya dan membiarkan aku terus dengan rasa bersalah ini..."

"Dulu, waktu aku meninggalkanmu ke Jerman, dan mengadakan pameran lukisan disana, lalu lukisan wajahmu hampir dibeli orang, aku berontak, Zy.. Aku berontak! Tak ada yang bisa memilikimu selain aku, walaupun itu hanya lukisan! Karena itu aku kembali ke Indonesia. Tapi semakin kesini, aku sadar, ternyata aku salah. Aku yang tak akan bisa memilikimu, karena kamu sudah dimiliki. Maka, jika aku terus berharap, selain hatiku yang sakit, aku juga telah berdosa mengharapkan tunangan wanita lain."
"Tapi kamu mau kan terima kotak kecil ini? Ayolah, anggap saja ini kado awal jadian kita dulu. Empat tahun yang lalu di tempat ini. Kado yang dulu belum sempat aku berikan ke kamu."
"Sudah tidak lagi pantas, Zy.. Berikan saja pada tunanganmu. Dia pasti akan bahagia."
"Aku sedang serius, Bell.. Jangan bawa-bawa tunanganku jika aku sedang berbicara denganmu. Aku tau kamu sendiri terluka saat mengucapkannya. Terimalah..." Pinta Fazzy pada Belia.
"Zy, tapi aku tak ingin.... Jika aku terima, itu sama saja dengan aku mendukung kamu menduakan hatimu dari tunanganmu ke aku. Aku tak ingin ada yang disakiti disini..."
"Anggap saja ini kado dari sahabatmu. Bukan mantan kekasihmu ataupun tunangan orang lain... Atau aku akan nekat, memutuskan pertunanganku demi bisa memberimu kado ini, lalu memilikimu lagi?"
"Kenapa kamu begitu menyebalkan, ZIEG!!!" Akhirnya Belia menyerah. Dia membuka telapak tangannya, tanda menerima kado itu. Fazzy yang merasa menang dengan ancamannya akan memutuskan tunangannya itupun tersenyum lebar. Ya. Belia tidak mau ada yang tersakiti. Karena dengan menerima kado itu, Fazzy tidak akan berniat lagi untuk meninggalkan tunangannya. Frizka.

Belia berniat meninggalkan Fazzy setelah menerima kotak kecil itu. Tapi Fazzy menahannya.
"Lalu, kamu tidak memberiku hadiah? Atau kamu lupa hari ini hari apa di empat tahun yang lalu?" Tanya Fazzy. Belia hanya tersenyum, masih duduk di bangku, sebelahan dengan Fazzy.
"Utangku tinggal satu kan?" Belia mendekatkan wajahnya, lalu mencium lembut pipi Fazzy. "Pulanglah, sudah malam. Waktumu telah habis... Utangku telah lunas.." Dia tersenyum manis. Kemudian berlalu meninggalkan Fazzy yang juga masih tersenyum.

Di mobil, Ruddi sabar menunggu Belia datang walau harus rela digigit rombongan nyamuk malam itu. Satu jam itu bukan waktu yang sedikit untuk bersabar menunggu seseorang yang kita sayang, sedang ngobrol dengan lelaki lain yang belum sepenuhnya kita kenal.
"Jadi, kita mau makan malam dimana, Rudd?"
"Kamu yakin kita mau makan jam segini? Ga takut... Mmmm...??" Tanya Ruddi sambil menggembungkan pipi, dan mengepakkan lengannya, seolah-olah mengisyaratkan 'gendut'.
"Hahaha kamu ada-ada saja.. Nggalah, gendut itu seksi tau..! Lihat nih pipiku, tulang begini.. Ga bisa dicubit nanti.." Ruddi tertawa mendengar jawaban Belia.
"Korean Food, Chinese Food, Japanese Food, Italian's Food, atauuu...."
"Indonesian Food!!!" Ucap mereka bersamaan. Lalu tertawa lagi.
"Kalau Indonesian Food kan banyak pilihan... Jawa Barat, Jawa Tengah, Jawaaa...." Ruddi berpikir keras. Dia tidak yakin ada Jawa Selatan dan Utara. Maklum jika dia lupa. Karena setelah naik kelas 4 SD dia ikut Papa dan Mamanya hijrah ke Jerman. Tepatnya di Hannover.
"Kamu kenapa?"
"Kita makan masakan Jawa Utara aja atau Jawa Selatan, yuk??" Ruddi nyengir kuda. Dan malam itu, Belia tertawa puas. Menertawakan kekonyolan Ruddi. Dari jaman SD, Belia tau bahwa di peta Indonesia tidak pernah terdapat Pulau Jawa Utara ataupun Selatan. Sepanjang perjalanan ke tempat makan hingga pulang, Belia masih saja tertawa. Wajah Ruddi bersemu merah. Dia malu akan kebodohannya malam itu.

Pukul 11 malam lewat sedikit, Belia sampai di apartment. Ruddi mengantarnya ke lantai 5 hingga di depan pintu.
"Jangan lupa kemasi barangnya, jam 12 siang aku dan Carla tunggu di bawah..."
"ok, Sir"
"Gute nacht, Bell... Tidur yang nyenyak ya.." Ruddi mengecup kening Belia, hangat.
"Makasih sudah mau menemaniku malam ini, Rudd..." Kemudian Belia masuk menutup pintu, dan Ruddi pulang dengan mobil hitamnya menuju rumah.


to be continue.......
#fiksiminiLALU #fiksicyberLALU

Free Ty Cursors at www.totallyfreecursors.com
 

FRISTHYA PRATIWI Copyright © 2010 Design by Ipietoon Blogger Template Graphic from Enakei | web hosting