Tuesday, June 17, 2014

Dear, You... #fiksimini

Posted by FRISTHYA PRATIWI at 6/17/2014 02:10:00 AM 0 comments
Udara nyaman di pinggiran pantai ini mengingatkanku padamu. Ayunan yang menggantung disana, iya yang itu: kau pernah mendudukkanku disitu, kemudian mengayunkannya perlahan agar aku tak jatuh.

Sama seperti saat itu, kini aku duduk di ayunan itu dengan kakiku sebagai pengayunnya: bukan kau lagi.

Kurentangkan tangan ketika angin mengibas lembut penutup kepalaku yang panjang dan bermotif hati, selaras dengan warna celana katun yang kukenakan. Saat itu pula kurasakan rindu memenuhi dadaku. Kututup mata, kutarik seluruh udara, kurasakan kau ada.

"Aku bahagia bersamamu.."
Itu kalimat yang masih kuingat hingga kini, di tempat yang sama, kau memeluk pinggangku dari belakang: kau bisikkan nyanyian kita. Dan di atas tanah yang sama ini pula kita habiskan tenggelamnya siang bersama. Bahagia.

Hari telah sore saat kusadari air di pelupuk mata ini habis: kuhapus jejak-jejaknya di pipiku, bersama bekas bibir yang dulu pernah mengecupnya manis.

"Ayo kita pulang!"
Suaramu berbisik bersama angin sore yang diantarkan senja yang hampir tenggelam. Ah, hanya igauku rupanya.

Kunyalakan mesin mobil, kulajukan jalannya keluar dari daerah pantai ke arah perkotaan. Sendirian, kudengarkan nyanyian yang mengudara pada radio tape di mobilku.

"Selamat malam para pendengar, buat yang sedang mengemudi malam ini jangan lupa memasang seat belt, dan mengemudilah dengan aman.."
Seperti hantu, penyiar itu mengingatkanku yang ternyata lupa mengenakan pengamanan berkendara. Kupelankan laju mobil sebentar, kutarik belt dari tempatnya hingga mengelilingi pinggang dan tubuhku.

"Martina McBride, My Valentine.. selamat mendengarkan.."
Kemudian mengalun sebuah lagu, memenuhi ruang kosong mobilku hingga ke sudut-sudutnya. Di sela-selanya, terdengar kembali suaramu menyanyikan lagu itu. Mendadak kuhentikan mobil sama sekali. Tapi, klakson pengendara lain membuyarkan igauku.

"Sialan!"
Kumaki penyiar malam itu. Aku tau, dia temanku.

Lapar. Aneh, akhirnya aku merasakannya lagi setelah berhari-hari kehilangan selera. Kubanting stir ke pusat makanan yang selalu ramai di malam hari.

Mobil melambat saat mataku menuju pojokan kosong, namun kulihat 'kita' disana. Gagal.

"Ayo kita pulang..."
Kau kemudikan mobilmu dengan nyaman menuju rumahku.

"Terima ka..."
Belum usai, kau dahului ucapanku dengan bibirmu: di keningku.
"Terlebih aku. Hari ini indah. Kita, dan pantai itu.."
Matamu mengantarku hingga ke bibir pintu. Kulambaikan tangan, mengantarmu pulang.

Tapi malam ini, kubuka pintu mobil, kuhempaskan nafasku sesuka hati. Tak ada yang membukakan, tak ada yang mengantarkan, dan tak ada yang akan kulambaikan tangan. Sepi. Hanya dingin dan sakit kepala yang menyerang malam ini hingga ke bibir pintu rumahku. Lagi-lagi igauan itu menghancurkan mood malamku. Aku tidak jadi lapar.

"Dari mana?"
"Pantai.."
"Dengan?"
"Diriku sendiri."
"Pacar?"
"Di pikiranku. Sampai saat ini."
Kujawab pertanyaan mereka sekenanya. Tak sopan memang, tapi aku lelah. Terlebih pikiran ini.

"Jangan gila!"
Tak kugubris cacian mereka. Kututup pintu kamarku rapat, kuhempaskan tubuh lelah ini bersama pikirannya ke atas tempat tidur.

Tolong lelapkan mataku, aku sedang tak ingin mengingatnya.

"Klik!"
Nada itu bunyi sekali.
"Klik.. klik.. klik..."
Kemudian berkali-kali.

Malas, kuarahkan jempolku membuka passwordnya. Namamu disana. Kupejamkan mata. Tak ingin melihatnya lama-lama.

Semenit kemudian, aku menyerah.
"Sedang apa?"
"Ingin tidur.."
"Aku rindu.."
"Aku tidak."
Kupencet tombol keluar, kemudian mencabut baterai telepon genggamku itu dengan kasar.

Untuk apa lagi?
Bodoh.
Hingga detik ini aku membencimu.
Benci karena tak sedikitpun bisa melupakan kita.

"Kau jahat!"
Kalimat itu yang terakhir kali kuucapkan padanya. Entah berapa kali. Tapi sungguh, benar-benar dari dalam hati.

Setelah kejadian malam itu, masih sempat kau ucapkan rindu padaku? Otak seperti apakah yang Tuhan ciptakan untukmu? Tega!

Kudengar benar suara mobilmu dari dalam kamarku. Aku tau, kau di luar.

"Mbak, ada Mas Aldi.."
"Aku tidur!"
"Bisa menjawab? Benar tidur?"
"Bilang saja begitu."
"Ah, bilang saja sendiri.."
Tak kugubris perkataan si bawel itu sama sekali. Kupasang musik sekencang mungkin di telingaku. Biarkan saja dia mengoceh hingga pagi, mungkin.

Pukul 7 pagi. Oh, tertidur aku rupanya semalam. Baguslah...
"Sarapan dulu.."
"Nanti saja, di jalan."
"Sambil mengemudi? Apa yang mau kau makan? Stir mobilmu?"
Ya, aku memang agak susah sarapan. Apalagi sekarang ini. Mood hilang entah kemana.

Kubuat wajahku se-happy mungkin ketika tiba di kantor. Aku tak ingin mood siaran pagi ini hancur hanya karena masalah yang itu-itu saja.

"Pagi, Mbak.."
"Pagi.."
Kupaksakan tersenyum, walau terlihat sungguh sangat dibuat-buat, biarlah.

Tema hari ini aku buat seceria mungkin, musiknya pun tak ada yang slow beat.

"Masih pagi.."
Pikirku, kalau saja malam, mungkin akan kubuat sesedih mungkin.

"Sudah membaik?"
Hanya kujawab dengan senyum, dan kupastikan aku baik-baik saja. Dia tak percaya, lalu tumpahlah semuanya. Setelah usai siaran siang itu: di sebuah tempat makan, kuceritakan semuanya. Pada sahabatku, hingga pada kejadian tadi malam. Dia memelukku, erat.

"Semua akan baik-baik saja ketika dua orang saling mencintai..."
"Tapi keadaan tidak mencintai kami.."
"Tuhan akan menjawabnya lewat waktu, Sayangku.."
"Kau tau persis aku mencintainya,"
"Dan dia mencintaimu, tentu saja aku tau!"
"Tapi..."
Dipeluknya punggung tanganku erat-erat, diusapnya penuh kasih sayang. Hangat.

"Percayalah, semua akan baik-baik saja.."
"Terima kasih, kau memang yang terbaik.."
"Kau juga.."
Senyum mengembang lagi dari bibir ini. Entah ada energi dari mana, tapi setelah semua yang menumpuk ini kubuang tanpa sisa: sangat lega rasanya.

Penyelesaian hubungan secara tiba-tiba ternyata membuat sakit di sekujur tubuh. Ketika semuanya baik-baik saja, kau ucapkan perpisahan. Katamu waktunyalah yang salah. Tapi entah apa yang salah: aku masih tak mengerti maksudmu.

"Kita terlalu sibuk dengan pekerjaan masing-masing. Bahkan kadang tidak punya waktu untuk bertemu sapa. Hanya lewat ponsel saja. Aku tak bisa.."
"Hanya begitu?"
"Kita masih muda, masih banyak impian di depan, jika Tuhan menakdirkan, maka kita akan tetap kita.."
"Kalau tidak?"
"Berarti jawabannya tidak.."
"Kau jahat!"
"Maaf..."
"Aku mau pulang! Sekarang!"

Saat itu, kau mengantarkan aku pulang untuk terakhir kalinya. Dan malam itu menjadi perjalanan pulang yang begitu panjang, bisu, dan membosankan. Tak ada suara apapun, terkecuali nafasku yang menderu bersama laju kendaraan yang dikemudikannya. Sesak rasanya.

Tak ada lambaian tanganku lagi malam itu, walau aku tau dia menunggu. Cukup. Bahkan aku tak mau berbalik melihatnya meninggalkanku. Kuharapkan besok pagi ketika aku terbangun, semua tetap pada tempatnya seperti sedia kala, dan malam itu hanya mimpi buruk belaka: begitupun malam ini, dan keesokan harinya.

Karena, aku masih menunggu waktu menakdirkan kita untuk tetap menjadi kita. Seperti saat itu: bahagia. Selalu.

Dear, You.
From Yours.










------------------------------------
15 juni - 17 juni 2014
01.56 wib
Teruntuk, Kak Pyo.
Semoga bahagia, selalu.
*peluk*
------------------------------------

Sunday, June 8, 2014

Aku Bisa Apa? #fiksimini

Posted by FRISTHYA PRATIWI at 6/08/2014 12:25:00 AM 0 comments
"Kamu apa kabar?"
Pertanyaan itu yang pertama kali muncul dari gerakan bibirmu dengan suara yang tertahan. Mungkin tertahan rindu.

Kala itu aku bahagia melihatmu sekali lagi di hidupku. Menatap lagi mataku walau sedikit agak pias. Menggenggam lagi tanganku walau sedikit terlalu erat. Mungkin takut kehilangan.

Tapi, percayalah: aku bisa apa?

Kita yang pernah terpisah jarak karena waktu, kala itu berada di ruang yang sama. Ya, pada akhirnya. Walau hanya sementara. Lepaslah rindu berminggu-minggu lamanya.

Di pipi,
Di dahi, dan
Di ingatanku: kau daratkan lagi bibirmu.

Dan, percayalah: aku bisa apa?

Tak kurasa sudah lebih setengah tahun, tak kukabari kau, begitupun sebaliknya. Aku rindu lagi. Seperti malam ini.

"Orang lain tau apa tentang semua ini?"
"Entah.."
"Tak usah kau risaukan. Disini ada kita..."

Percakapan itu tak pernah usai hingga malam ini. Aku tak pernah mengerti, siapa yang kau sebut sebagai 'kita', sedang kini aku sendiri di sini.
Kuberitakan perpisahan pada khalayak beberapa waktu yang lalu, sedang kau menghubungiku di setiap pertengahan malam.

Lalu: aku bisa apa?

"Sayang, cinta bukan melulu tentang status dan ikatan. Yakinlah, begini juga disebut cinta."
"Kalau begitu..."
Ucapan protesku selalu saja kau putus dengan kecupmu yang mendarat manis di bibirku.

Sayang: aku bisa apa?

Malam selanjutnya, ragu ingin ku-click namamu pada daftar nomor ponsel di telepon genggamku. Tapi, ternyata gengsi lebih itu lebih besar daripada rinduku. Hingga akhirnya dia berdering tanpa kuminta. Layarnya menulis namamu: Yang Kurindukan.

"Aku rindu!"
Tanpa sapa, kau serobot pendengaranku dengan kalimat yang ingin kukatakan sebelumnya.

"Aku tidak..."
"Aku tau kalimat selanjutnya. Pasti: pernah tidak rindu padamu. Bukan begitu?"

Entah berapa lama kita bersama hingga kau hafal hampir semua perkataanku, padahal aku hampir selalu lupa apa yang kau ucapkan.

"Kau masih ingat cerita tentang bintang?"
Diam.. aku tak ingin menjawab. Kubiarkan ingatanku yang mengingat. Dan kubiarkan kau mengingatkan ingatanku.

"Aku tau, kau pasti telah melupakan semuanya."
"Maaf."
"Ya, aku tau. Bukan melupakan, tapi terlupakan. Aku memang bukan siapa-siapa untuk selalu kau ingat."
"Maaf.."
"Ya, memang salahku tak pernah mau mengucapkan status agar aku berhak kau ingat."
"Maaf..."
"Ya, kau benar. Aku minta maaf."
"Maksudku..."
"Ya, maksudku aku minta maaf karena takut menstatuskan semua ini. Aku takut ikatan kita rapuh akan hal-hal kecil seperti sekarang ini."
"Kau salah..."
"Iya, iya, iya... aku tau, aku salah, aku minta maaf."
"Bukan be..."
"Iy..."
Kututup mulutmu yang terus-terusan mendahuluiku, dengan bibirku. Aku lelah dengan pertengkaran yang terus kau buat sendiri. Aku lelah dengan permasalahan yang sama. Itu-itu melulu.

Kau benar, seharusnya sejak dulu kau meminta maafku karena tak pernah berani mengikrarkan hubungan ini. Begitupun pada hatimu sendiri.

Meski begitu, kau selalu tau: aku bisa apa?

Ya, sudah lebih dari setengah tahun. Anggap saja begitu. Aku melupakanmu, bisa hidup tanpa deringan rindu tiap tengah malammu.

Tapi, entah kenapa malam ini aku kembali mengingatmu setelah sekian lama akhir pembahasan itu?
Hahaha mungkinkah ini rindu?

Aku menyerah: aku bisa apa?

Dulu, kutunggu realisasimu tentang kata 'kita' yang pernah kau ucap. Hingga saat yang kupastikan dan tak kau ucapkan, kuputuskan untuk mengakhiri ini semua.

Kau mengetahuinya lebih dari ini, "Maaf, aku lelah.." Itulah kalimat akhirku tentang hubungan ini.

"Kalau begitu maumu, aku bisa apa?"


Free Ty Cursors at www.totallyfreecursors.com
 

FRISTHYA PRATIWI Copyright © 2010 Design by Ipietoon Blogger Template Graphic from Enakei | web hosting