Wednesday, May 14, 2014

Seseorang di Kaki Gunung #FiksiMini

Posted by FRISTHYA PRATIWI at 5/14/2014 06:49:00 PM 0 comments
Kuhentakkan kakiku mendaki bukit kecil hijau di tanah Jawa. Merambat menyusuri jalan setapak. Jejak-jejak pendaki lain terlihat di semak-semak rusak bekas injakan yang berulang.

Basah, bekas hujan tadi siang. Terus kuberjalan menuju tujuan yang tak kunjung kutemukan. Bau lembab, dan matahari yang mulai gelap menemani perjalananku sore itu.

Jauh, sayup kudengar seorang lelaki berbisik. Entah hanya menyapa atau entah bagaimana....kami berjabatan. Menyebutkan nama satu sama lain.
"Banyu.."
"Putih.."
Dia membantuku berjalan di jalanan setapak yang semakin licin. Tanjakan curam berkali-kali harus kulewati.

"Kau sendiri di hutan seperti ini?"
Senyum, sambilku bayangkan wajahnya. Sosok tinggi, putih, besar, dan kokoh itu jelas di pelupuk mataku.

Aku kemari hanya untuk mencapai satu tujuan. Tak penting dengan siapa, dan bagaimana aku harus sampai.

Lagi-lagi, tanganku diapit jari-jarinya. Kuat. Kini nyanyian burung malam menemani langkah-langkah gontai kami yang mulai menyusuri lembah. 

Jalan setapak, jejak-jejak, dan semak-semak, juga bau lembab yang masih terus ada di sekitaran bahkan di daftar selanjutnya perjalanan kami.

Kunyalakan api pada ranting-ranting runtuh. Beruntung masih ada beberapa yang kering, tertutup batang tanaman yang lain.

Banyu, begitu nama yang dia sebutkan, sibuk dengan kerangka tenda yang sedang dia dirikan. Sambil tersenyum ke arahku sesekali.
"Berbahagialah, maka alam turut bersamamu."

Dia orang pertama yang kutemui sore ini, dia pula yang menguatkan jari-jarinya pada jari-jari lemahku. Dia yang mengantarkan malamku pada peluknya yang hangat dalam tenda kecil malam itu.

Semakin kuat inginku untuk menolak, semakin kuat hasratku untuk melemah. Tubuh gagah itu menghangatkan sepertiga malam ini dengan menopang tubuhku yang lelah.

"Kau tau tidak, banyak orang jahat berkeliaran di tengah hutan, di sepertiga malam seperti ini.."
Kuacuhkan suaranya. Kunikmati damainya suasana malam di kaki gunung ini. Tak bergeming, hanya kusunggingkan senyum dan kueratkan tanganku dipeluk bahunya.
"Aku tak peduli jika itu kau."

***

Matahari pagi menyapa tenda kami yang masih tertutup rapat. Abu ranting yang kubakar semalam menyisakan bau asap yang dipadamkan embun subuh hari.

Subuh tadi seharusnya aku sudah tak disini, tak memeluk tubuh kokoh itu lagi.

Mataku menerawang ke langit-langit tenda berwarna gelap itu, jauh...mengingat pertemuan kemarin sore. Lama.

Baru kusadari sepasang mata itu mengawasiku sejak tadi. Aroma nafas malam masih mengerubungi mulut-mulut kami. Dia menyapaku di pipi, lalu memelukku lagi.

"Selamat pagi, Putih.."
Kututup mataku, kunikmati pagiku lagi dan lagi. Banyu, begitu nama yang dia sebutkan kemarin sore, menutup matanya kembali, menandakan hal yang sama seperti yang kuinginkan. Kami menikmati pagi kami, lagi dan lagi.

Pukul delapan, entah siapa yang terlebih dahulu menyadari ini. Kami bangun dari buaian udara pagi dengan perut yang berbunyi.

Banyu, begitu nama yang dia sebutkan saat kami sama-sama berjabat, menyalakan kembali ranting-ranting kayu sisa dan membuat segelas teh seduh hangat. Aku merogoh isi tas mencari pasangannya.

"Ini, hangatkan tubuhmu dengan ini.."
Tegukan pertama memasuki tenggorokan menuju isi perutku, hangat. Walau tak sehangat peluknya malam itu, menurutku.

"Kemarilah.."
Dipeluknya aku lagi, di depan perapian. Kuteguk lagi, dan kurasakan hangat merambat keseluruh tubuhku. Kugigit separuh roti gandum sebagai pengurang rasa lapar pagi hari.

"Oh, ya.. belum kau jawab pertanyaanku kemarin sore. Kau sendiri di hutan seperti ini? Tak takut pada orang jahat?"
Aku tersenyum lagi. Kueratkan pelukan di pinggangnya.
"Seandainya kehidupan selalu indah seperti ini, aku ingin hidup hanya disini."
Dia tertawa. Mengelus kepalaku, mengacak-acak rambut sebahuku.
"Bangunlah. Ayo kita lanjutkan perjalanan. Tempat akhir tujuan sedang menunggu."

Pendakian sudah tak sesulit kemarin. Entah karena ada dia, atau entah karena keinginanku untuk cepat sampai kesana semakin besar bersamanya.

Beberapa kali dia membantuku memanjat tebing tinggi, melewati kubangan air sisa hujan kemarin siang, dan melompati tanah-tanah amblas yang licin dengan lumut di sekitarannya.

"Mau istirahat?"
Dia melihat ke arahku yang mulai sulit mengatur nafas. Matras yang tergulung di sebelah kanan tasnya, digelar di atas gundukan tanah setengah kering. Didudukkannya aku disana.

"Keras kepala."
Belum sehari bersama, dia berhasil menebak sifat burukku. Dan aku pun bisa menebak sifatnya.
"Terima kasih sudah menjagaku.. Kekasihmu pasti bahagia sekali.."
Dia tertawa lagi, mengelus kepalaku lagi, dan mengacak-acak rambut sebahuku lagi.
"Ya, dia pasti bahagia disana."
Matanya menerawang. Kulihat kelopak matanya sesekali berkedip, lama. Kemudian mengalir air dari sudut-sudut matanya.

"Ma-aa..."
Belum sempat kuselesaikan kata, dikecupnya tempat asal suara itu. Dia tersenyum di sela-sela pagutan. Air matanya menempel di pipiku, tertelan hingga ke tenggorokan.
Aku mencintainya.

Sudah usai lelahku. Aku daki lagi jalanan yang agak berbatu sambil sedikit merangkak karena licin. Dia menunggu di bawahku.

Lelaki itu memerhatikan jalanan yang kupilih-pilih sambil sebentar-sebentar memintaku berhati-hati.
"Awas kaki kirimu!"
Atau, "Jangan injak yang itu!"
Bahkan, "Pegang kayu yang itu!"

Suara beratnya membuatku aman. Perhatiannya membuat aku rindu akan kesalahan. Sesekali kuinjakkan kaki kiri di batuan berlumut tebal dan licin, hingga dia tergopoh-gopoh membantuku saat terjatuh. Sengaja memang, tetapi aku senang melihatnya seperti itu.

Lelaki itu, seseorang yang kutemui tak sengaja, aku mencintainya.

"Siapkan tenagamu, lima jam lagi sebelum sunset, kita harus bisa berdiri di sana!"
Tunjuknya ke puncak gunung yang terlihat semakin dekat daripada sebelumnya.

Siapapun kau disini, semenyenangkan inikah bila di nyata?

"Minum?"
Kualihkan pandangannya ke saku kiri tasku. Botol airku masih penuh, tandanya aku belum merasa haus sedikitpun. Teh hangat tadi pagi masih kusimpan di tenggorokan, memenuhi isi perutku.

Diteguknya air itu hingga seperempatnya. Tulang yang menyembul di tenggorokannya bergerak-gerak, naik-turun. Tersenyum, kuamati dia sesekali. Keringat menetes dari pelipis kanan dan kirinya, kuusap dengan jari-jari yang kemarin dia kuatkan diapitan jari-jarinya.

"Kau punya kekasih?" 
Aku tersenyum, kujawab dengan anggukan perlahan. Kulihat ada rasa iri di matanya.
"Kau."
Dia tersenyum. Mengelus kepalaku, mengecup keningku.
"Aku menemukanmu."
Bisiknya membuat air mata mengalir di pipiku.
Ya, aku mencintainya.

Tangan itu menuntunku berjalan kembali. Menyemangati lelahku hingga punah. Lelaki yang kutemui di sore hari itu, menemukanku dan memelukku tanpa henti.
Ya, dia mencintaiku.

Hampir hujan, kami berhenti di setengah perjalanan terakhir. Sunset hampir menjelang. Perjalanan tak bisa dilanjutkan. Beberapa pendaki berhenti dan membangun tenda di sekitaran tempat kami berdiri. Beberapa dari mereka menyapa kami, menawarkan sedikit pengisi perut dan botol-botol air yang utuh.

"Tak ada jalan lain, kita juga harus berhenti. Kita berkemah lagi malam ini, dengan mereka."
Aku sedikit kecewa karena tak bisa sampai tepat waktu. Sunset yang kami tunggu sudah lewat. 

"Pacaran?"
Seseorang di antara mereka mengajukan pertanyaan. Aku sedikit risih dengan itu.

Namun, dia menggenggam jari-jariku.
"Menikah."
Dia membuatku aman, lagi.
"Keren!" 
Yang lain bertepuk tangan, menyelamati kami yang hampir saja bingung harus bagaimana nanti.

Hujan deras mengguyur perkemahan dadakan kami malam ini. Semua pendaki mendiami tendanya masing-masing, termasuk aku dan dia. Di dalam tenda mini itu lagi kami berdiam diri. Kali ini benar-benar diam. Kikuk akibat omongan spontannya yang barusan.

Aku tidur memunggunginya, sedangkan dia melihatku dari belakang. Kurasakan rasa bersalahnya.

Tapi, walau bagaimanapun rasa senangku, bila tak diomongkan dulu, aku juga bisa kaku.

Menit-menit selanjutnya, hujan masih mengguyur dari luar tenda kami. Sepertinya dia lelah dengan rasa bersalahnya, dia pun memunggungiku. Tapi, aku luluh lalu memeluknya dari belakang.
"Maafkan aku telah menghukummu. Sekarang jangan hukum aku. Aku tau kau begitu biar aku aman malam ini..."

Dia menarik tanganku ke dadanya. Kemudian menciumi punggung tanganku sesekali.
"Terima kasih.."
Dia berbalik, tersenyum, lalu memelukku lebih erat lagi.

Hujan usai lima belas menit lalu, pendaki keluar dari tenda-tenda mereka. Gitar-gitar tua, suara-suara berat, dan bau kopi-kopi hangat menyeruak masuk ke dalam tenda kami. Malas rasanya untuk keluar. Hanya ingin terus memeluk seperti ini.

Seorang wanita yang tadi beberapa kali menyapaku, memanggil namaku dan Banyu dari luar tenda.
"Hey, pengantin baru! Kalian tidak engap di dalam sana? Ini ada kopi, jangan hanya menghangatkan tubuh dengan memeluukkk!!"
Teriakan wanita itu membuat riuh pendaki yang lain.

Banyu menggenggam tanganku, menenangkanku dari rasa kesal akan orang yang suka mengurusi kepentingan orang lain.

"Kau ingin tetap disini? Tak ingin memelukku di luar tenda?"
Aku tersenyum. Melepaskan pelukku pada lengan-lengan kokohnya. Dia duduk, lalu membuka tenda. Sebentar kemudian wanita tadi menarikku keluar tenda dan mengajakku duduk bersamanya. Banyu mengisyaratkanku lewat gerakan bibirnya.
"Pergilah, aku mengawasimu.."

Berjam-jam kami semua bernyanyi riang, kekikukan di antara aku dan pendaki-pendaki tadi mencair bersama hangatnya suasana yang mereka ciptakan bersama.

Banyu memerhatikanku dari seberang api unggun, di jejeran laki-laki lainnya. Bagai sepasang merpati kasmaran, rasanya tak ingin saling melepaskan.

Saat jam istirahat malam menjelang, dia berjalan ke arahku, meraih tanganku, dan membawaku menuju tenda. Tak dihiraukannya celotehan pendaki lain yang mengganggu.

"Kami duluan ya..." 
Ditutupnya tenda, dan dimatikannya lampu senter. Diselimutinya aku dengan lengan-lengan kokoh itu, erat, hingga hangat.

"Terjagalah saat pukul tiga, kita lanjutkan perjalanan, lalu saksikan matahari pagi bersama."
Kuanggukkan kepalaku yang menempel di dadanya. Kami tertidur dengan perasaan indah masing-masing.
Aku mencintainya.

Pukul tiga. Pendaki lain sibuk mengemas tenda-tenda mereka. Membuang sampah-sampah makanan dalam plastik sampah, lalu mengumpulkannya di sudut-sudut yang terlihat oleh pembersih hutan di siang hari.

Aku menunggui Banyu yang juga sedang mengemasi tenda bekas tidur kami semalam.
"Susu kotak?"
"Terima kasih.."
Disedotnya hingga gepeng. Lalu dibuangnya sembarangan.

"Ayo!"
Tanganku ditarik dengan semangat. Cerita-cerita seru tadi malam menyemangati kami pagi ini. Sabar, suami wanita yang memanggil aku dan Banyu di luar tenda tadi malam, menceritakan hal menarik yang membuat mata kami saling memandang.

"Aku dan dia bertemu disini tiga tahun lalu. Di tempat yang sekarang kita duduki ini, bukan begitu, Mah? Sepulang dari sini, dua bulan kemudian, kami menikah."
Wanita itu tersenyum, bahagia sekali, sepertiku.

Benar kata orang, sehabis hujan, akan terbit terang. Hujan tadi malam yang dingin, menyisakan kabut di perjalanan kami pagi ini. Namun setelah itu, hangat matahari di puncak gunung menerpa tubuh-tubuh beku kami. Matahari pagi ini benar-benar lebih indah dari matahari pagi biasanya.

Kulebarkan tanganku, kupeluk udara hangat itu berkali-kali. Mataku terpejam, segala yang terjadi sejak kemarin membayang jelas di pelupuk mata, bagaikan film yang diputar sesuai alur cerita.

Banyu, begitu nama yang dia sebutkan di awal kami dipertemukan, memeluk tubuhku dari belakang. Diucapkannya sebuah kalimat yang membuat jantung ini berhenti sejenak, lalu melanjutkan detaknya menjadi lebih cepat.

"Sehari berlalu, dan aku semakin mencintaimu. Di nyatanya duniaku, seperti inilah aku. Sepenuh hati akan menjagamu. Tak ingin pisah."
"Aku tak bisa berjanji. Tapi aku juga akan begitu. Tujuan awalku telah utuh, aku menemukanmu...."

Kami memeluk udara pagi bersama. Menghirup segarnya bersama. Di atas gunung ini, semua suka, cita, dan cinta, kami pupuki bersama. Kisah awal yang kami tutup, biarlah jadi kenangan masing-masing. Bukan rahasia, tapi tetaplah hidup untuk masa sekarang dan yang akan datang, bukan untuk masa kemarin dan yang telah berlalu. 

Kami mencintai cinta kami, dan pertemuan kami. Biarkan bagai sepasang merpati, kami mencintai, dan setia sampai nanti.

Seseorang di kaki gunung, aku mencintainya, dan dia mencintaiku.

Free Ty Cursors at www.totallyfreecursors.com
 

FRISTHYA PRATIWI Copyright © 2010 Design by Ipietoon Blogger Template Graphic from Enakei | web hosting