Wednesday, December 31, 2014

Countdown New Year 2015

Posted by FRISTHYA PRATIWI at 12/31/2014 08:14:00 PM 0 comments

Sudah mau tutup tahun 2014.
Sudah mau tahun baru 2015.

Ya Allah, terima kasih untuk semua rezeki, garis takdir, hadiah maupun ujian yang Engkau berikan.
Tak ada satupun yang luput dari mataMu sebagai Tuhan.

Maaf jika aku belum menjadi hamba yang terbaik untukMu. Tapi akan kucoba lebih baik tahun depan.

Jadikan kami muslimin dan muslimat yang berguna bagi hidup dan mati kami. Jadikan kami manusia yang lebih baik lagi, Ya Rabb..

Bantu kami untuk menggapai mimpi dan harapan kami di tahun depan.

Jadikan dia takdirku, dan aku takdirnya. Buat dia menepati kata2nya, agar itu semua bukan hanya sekedar kata2 belaka.
Dan, jika benar dia datang, buat mereka percaya dan merestui semuanya. Karena aku mencintainya.

4 hours before new year...
Hope God hugs our dreams, prays, hopes, and wishes. Aamiin...

Thursday, November 20, 2014

Love is . . .

Posted by FRISTHYA PRATIWI at 11/20/2014 02:13:00 AM 0 comments

Ketika aku mencintaimu, maka aku bersungguh-sungguh. #bersamamalam #aboutus

Friday, November 14, 2014

Kekasihku

Posted by FRISTHYA PRATIWI at 11/14/2014 02:03:00 AM 0 comments

Kau yang pertama menanyakannya.
Kau yang pertama memulainya.
Kau yang pertama menyatakannya.
Kau yang pertama mengimajinasikannya.

Aku harap kau juga yang pertama membuatnya nyata. Iya, pertama dan terakhir.

Walau canggung, karena ini pertama bagiku, tapi kucoba untuk mengimbangimu.

Mimpimu melebihiku, Sayang.
Semoga Allah mendengar dan mengabulkan ingin kita.

When you asked me, "Tet gwe ze nee?" And you want me to answer with Nam or La, at that time I answered, "Ofcourse, Nam.."

Unhesitatingly, I want you be mine. And you want me too.
May Allah hear our wish, Honey.

You said, "Cinta kamu.."
And I answered the same as you.

Can we will be the long as we imagine? Just see how Allah's big ways for us.

Bismillah...
:)

Tuesday, June 17, 2014

Dear, You... #fiksimini

Posted by FRISTHYA PRATIWI at 6/17/2014 02:10:00 AM 0 comments
Udara nyaman di pinggiran pantai ini mengingatkanku padamu. Ayunan yang menggantung disana, iya yang itu: kau pernah mendudukkanku disitu, kemudian mengayunkannya perlahan agar aku tak jatuh.

Sama seperti saat itu, kini aku duduk di ayunan itu dengan kakiku sebagai pengayunnya: bukan kau lagi.

Kurentangkan tangan ketika angin mengibas lembut penutup kepalaku yang panjang dan bermotif hati, selaras dengan warna celana katun yang kukenakan. Saat itu pula kurasakan rindu memenuhi dadaku. Kututup mata, kutarik seluruh udara, kurasakan kau ada.

"Aku bahagia bersamamu.."
Itu kalimat yang masih kuingat hingga kini, di tempat yang sama, kau memeluk pinggangku dari belakang: kau bisikkan nyanyian kita. Dan di atas tanah yang sama ini pula kita habiskan tenggelamnya siang bersama. Bahagia.

Hari telah sore saat kusadari air di pelupuk mata ini habis: kuhapus jejak-jejaknya di pipiku, bersama bekas bibir yang dulu pernah mengecupnya manis.

"Ayo kita pulang!"
Suaramu berbisik bersama angin sore yang diantarkan senja yang hampir tenggelam. Ah, hanya igauku rupanya.

Kunyalakan mesin mobil, kulajukan jalannya keluar dari daerah pantai ke arah perkotaan. Sendirian, kudengarkan nyanyian yang mengudara pada radio tape di mobilku.

"Selamat malam para pendengar, buat yang sedang mengemudi malam ini jangan lupa memasang seat belt, dan mengemudilah dengan aman.."
Seperti hantu, penyiar itu mengingatkanku yang ternyata lupa mengenakan pengamanan berkendara. Kupelankan laju mobil sebentar, kutarik belt dari tempatnya hingga mengelilingi pinggang dan tubuhku.

"Martina McBride, My Valentine.. selamat mendengarkan.."
Kemudian mengalun sebuah lagu, memenuhi ruang kosong mobilku hingga ke sudut-sudutnya. Di sela-selanya, terdengar kembali suaramu menyanyikan lagu itu. Mendadak kuhentikan mobil sama sekali. Tapi, klakson pengendara lain membuyarkan igauku.

"Sialan!"
Kumaki penyiar malam itu. Aku tau, dia temanku.

Lapar. Aneh, akhirnya aku merasakannya lagi setelah berhari-hari kehilangan selera. Kubanting stir ke pusat makanan yang selalu ramai di malam hari.

Mobil melambat saat mataku menuju pojokan kosong, namun kulihat 'kita' disana. Gagal.

"Ayo kita pulang..."
Kau kemudikan mobilmu dengan nyaman menuju rumahku.

"Terima ka..."
Belum usai, kau dahului ucapanku dengan bibirmu: di keningku.
"Terlebih aku. Hari ini indah. Kita, dan pantai itu.."
Matamu mengantarku hingga ke bibir pintu. Kulambaikan tangan, mengantarmu pulang.

Tapi malam ini, kubuka pintu mobil, kuhempaskan nafasku sesuka hati. Tak ada yang membukakan, tak ada yang mengantarkan, dan tak ada yang akan kulambaikan tangan. Sepi. Hanya dingin dan sakit kepala yang menyerang malam ini hingga ke bibir pintu rumahku. Lagi-lagi igauan itu menghancurkan mood malamku. Aku tidak jadi lapar.

"Dari mana?"
"Pantai.."
"Dengan?"
"Diriku sendiri."
"Pacar?"
"Di pikiranku. Sampai saat ini."
Kujawab pertanyaan mereka sekenanya. Tak sopan memang, tapi aku lelah. Terlebih pikiran ini.

"Jangan gila!"
Tak kugubris cacian mereka. Kututup pintu kamarku rapat, kuhempaskan tubuh lelah ini bersama pikirannya ke atas tempat tidur.

Tolong lelapkan mataku, aku sedang tak ingin mengingatnya.

"Klik!"
Nada itu bunyi sekali.
"Klik.. klik.. klik..."
Kemudian berkali-kali.

Malas, kuarahkan jempolku membuka passwordnya. Namamu disana. Kupejamkan mata. Tak ingin melihatnya lama-lama.

Semenit kemudian, aku menyerah.
"Sedang apa?"
"Ingin tidur.."
"Aku rindu.."
"Aku tidak."
Kupencet tombol keluar, kemudian mencabut baterai telepon genggamku itu dengan kasar.

Untuk apa lagi?
Bodoh.
Hingga detik ini aku membencimu.
Benci karena tak sedikitpun bisa melupakan kita.

"Kau jahat!"
Kalimat itu yang terakhir kali kuucapkan padanya. Entah berapa kali. Tapi sungguh, benar-benar dari dalam hati.

Setelah kejadian malam itu, masih sempat kau ucapkan rindu padaku? Otak seperti apakah yang Tuhan ciptakan untukmu? Tega!

Kudengar benar suara mobilmu dari dalam kamarku. Aku tau, kau di luar.

"Mbak, ada Mas Aldi.."
"Aku tidur!"
"Bisa menjawab? Benar tidur?"
"Bilang saja begitu."
"Ah, bilang saja sendiri.."
Tak kugubris perkataan si bawel itu sama sekali. Kupasang musik sekencang mungkin di telingaku. Biarkan saja dia mengoceh hingga pagi, mungkin.

Pukul 7 pagi. Oh, tertidur aku rupanya semalam. Baguslah...
"Sarapan dulu.."
"Nanti saja, di jalan."
"Sambil mengemudi? Apa yang mau kau makan? Stir mobilmu?"
Ya, aku memang agak susah sarapan. Apalagi sekarang ini. Mood hilang entah kemana.

Kubuat wajahku se-happy mungkin ketika tiba di kantor. Aku tak ingin mood siaran pagi ini hancur hanya karena masalah yang itu-itu saja.

"Pagi, Mbak.."
"Pagi.."
Kupaksakan tersenyum, walau terlihat sungguh sangat dibuat-buat, biarlah.

Tema hari ini aku buat seceria mungkin, musiknya pun tak ada yang slow beat.

"Masih pagi.."
Pikirku, kalau saja malam, mungkin akan kubuat sesedih mungkin.

"Sudah membaik?"
Hanya kujawab dengan senyum, dan kupastikan aku baik-baik saja. Dia tak percaya, lalu tumpahlah semuanya. Setelah usai siaran siang itu: di sebuah tempat makan, kuceritakan semuanya. Pada sahabatku, hingga pada kejadian tadi malam. Dia memelukku, erat.

"Semua akan baik-baik saja ketika dua orang saling mencintai..."
"Tapi keadaan tidak mencintai kami.."
"Tuhan akan menjawabnya lewat waktu, Sayangku.."
"Kau tau persis aku mencintainya,"
"Dan dia mencintaimu, tentu saja aku tau!"
"Tapi..."
Dipeluknya punggung tanganku erat-erat, diusapnya penuh kasih sayang. Hangat.

"Percayalah, semua akan baik-baik saja.."
"Terima kasih, kau memang yang terbaik.."
"Kau juga.."
Senyum mengembang lagi dari bibir ini. Entah ada energi dari mana, tapi setelah semua yang menumpuk ini kubuang tanpa sisa: sangat lega rasanya.

Penyelesaian hubungan secara tiba-tiba ternyata membuat sakit di sekujur tubuh. Ketika semuanya baik-baik saja, kau ucapkan perpisahan. Katamu waktunyalah yang salah. Tapi entah apa yang salah: aku masih tak mengerti maksudmu.

"Kita terlalu sibuk dengan pekerjaan masing-masing. Bahkan kadang tidak punya waktu untuk bertemu sapa. Hanya lewat ponsel saja. Aku tak bisa.."
"Hanya begitu?"
"Kita masih muda, masih banyak impian di depan, jika Tuhan menakdirkan, maka kita akan tetap kita.."
"Kalau tidak?"
"Berarti jawabannya tidak.."
"Kau jahat!"
"Maaf..."
"Aku mau pulang! Sekarang!"

Saat itu, kau mengantarkan aku pulang untuk terakhir kalinya. Dan malam itu menjadi perjalanan pulang yang begitu panjang, bisu, dan membosankan. Tak ada suara apapun, terkecuali nafasku yang menderu bersama laju kendaraan yang dikemudikannya. Sesak rasanya.

Tak ada lambaian tanganku lagi malam itu, walau aku tau dia menunggu. Cukup. Bahkan aku tak mau berbalik melihatnya meninggalkanku. Kuharapkan besok pagi ketika aku terbangun, semua tetap pada tempatnya seperti sedia kala, dan malam itu hanya mimpi buruk belaka: begitupun malam ini, dan keesokan harinya.

Karena, aku masih menunggu waktu menakdirkan kita untuk tetap menjadi kita. Seperti saat itu: bahagia. Selalu.

Dear, You.
From Yours.










------------------------------------
15 juni - 17 juni 2014
01.56 wib
Teruntuk, Kak Pyo.
Semoga bahagia, selalu.
*peluk*
------------------------------------

Sunday, June 8, 2014

Aku Bisa Apa? #fiksimini

Posted by FRISTHYA PRATIWI at 6/08/2014 12:25:00 AM 0 comments
"Kamu apa kabar?"
Pertanyaan itu yang pertama kali muncul dari gerakan bibirmu dengan suara yang tertahan. Mungkin tertahan rindu.

Kala itu aku bahagia melihatmu sekali lagi di hidupku. Menatap lagi mataku walau sedikit agak pias. Menggenggam lagi tanganku walau sedikit terlalu erat. Mungkin takut kehilangan.

Tapi, percayalah: aku bisa apa?

Kita yang pernah terpisah jarak karena waktu, kala itu berada di ruang yang sama. Ya, pada akhirnya. Walau hanya sementara. Lepaslah rindu berminggu-minggu lamanya.

Di pipi,
Di dahi, dan
Di ingatanku: kau daratkan lagi bibirmu.

Dan, percayalah: aku bisa apa?

Tak kurasa sudah lebih setengah tahun, tak kukabari kau, begitupun sebaliknya. Aku rindu lagi. Seperti malam ini.

"Orang lain tau apa tentang semua ini?"
"Entah.."
"Tak usah kau risaukan. Disini ada kita..."

Percakapan itu tak pernah usai hingga malam ini. Aku tak pernah mengerti, siapa yang kau sebut sebagai 'kita', sedang kini aku sendiri di sini.
Kuberitakan perpisahan pada khalayak beberapa waktu yang lalu, sedang kau menghubungiku di setiap pertengahan malam.

Lalu: aku bisa apa?

"Sayang, cinta bukan melulu tentang status dan ikatan. Yakinlah, begini juga disebut cinta."
"Kalau begitu..."
Ucapan protesku selalu saja kau putus dengan kecupmu yang mendarat manis di bibirku.

Sayang: aku bisa apa?

Malam selanjutnya, ragu ingin ku-click namamu pada daftar nomor ponsel di telepon genggamku. Tapi, ternyata gengsi lebih itu lebih besar daripada rinduku. Hingga akhirnya dia berdering tanpa kuminta. Layarnya menulis namamu: Yang Kurindukan.

"Aku rindu!"
Tanpa sapa, kau serobot pendengaranku dengan kalimat yang ingin kukatakan sebelumnya.

"Aku tidak..."
"Aku tau kalimat selanjutnya. Pasti: pernah tidak rindu padamu. Bukan begitu?"

Entah berapa lama kita bersama hingga kau hafal hampir semua perkataanku, padahal aku hampir selalu lupa apa yang kau ucapkan.

"Kau masih ingat cerita tentang bintang?"
Diam.. aku tak ingin menjawab. Kubiarkan ingatanku yang mengingat. Dan kubiarkan kau mengingatkan ingatanku.

"Aku tau, kau pasti telah melupakan semuanya."
"Maaf."
"Ya, aku tau. Bukan melupakan, tapi terlupakan. Aku memang bukan siapa-siapa untuk selalu kau ingat."
"Maaf.."
"Ya, memang salahku tak pernah mau mengucapkan status agar aku berhak kau ingat."
"Maaf..."
"Ya, kau benar. Aku minta maaf."
"Maksudku..."
"Ya, maksudku aku minta maaf karena takut menstatuskan semua ini. Aku takut ikatan kita rapuh akan hal-hal kecil seperti sekarang ini."
"Kau salah..."
"Iya, iya, iya... aku tau, aku salah, aku minta maaf."
"Bukan be..."
"Iy..."
Kututup mulutmu yang terus-terusan mendahuluiku, dengan bibirku. Aku lelah dengan pertengkaran yang terus kau buat sendiri. Aku lelah dengan permasalahan yang sama. Itu-itu melulu.

Kau benar, seharusnya sejak dulu kau meminta maafku karena tak pernah berani mengikrarkan hubungan ini. Begitupun pada hatimu sendiri.

Meski begitu, kau selalu tau: aku bisa apa?

Ya, sudah lebih dari setengah tahun. Anggap saja begitu. Aku melupakanmu, bisa hidup tanpa deringan rindu tiap tengah malammu.

Tapi, entah kenapa malam ini aku kembali mengingatmu setelah sekian lama akhir pembahasan itu?
Hahaha mungkinkah ini rindu?

Aku menyerah: aku bisa apa?

Dulu, kutunggu realisasimu tentang kata 'kita' yang pernah kau ucap. Hingga saat yang kupastikan dan tak kau ucapkan, kuputuskan untuk mengakhiri ini semua.

Kau mengetahuinya lebih dari ini, "Maaf, aku lelah.." Itulah kalimat akhirku tentang hubungan ini.

"Kalau begitu maumu, aku bisa apa?"

Wednesday, May 14, 2014

Seseorang di Kaki Gunung #FiksiMini

Posted by FRISTHYA PRATIWI at 5/14/2014 06:49:00 PM 0 comments
Kuhentakkan kakiku mendaki bukit kecil hijau di tanah Jawa. Merambat menyusuri jalan setapak. Jejak-jejak pendaki lain terlihat di semak-semak rusak bekas injakan yang berulang.

Basah, bekas hujan tadi siang. Terus kuberjalan menuju tujuan yang tak kunjung kutemukan. Bau lembab, dan matahari yang mulai gelap menemani perjalananku sore itu.

Jauh, sayup kudengar seorang lelaki berbisik. Entah hanya menyapa atau entah bagaimana....kami berjabatan. Menyebutkan nama satu sama lain.
"Banyu.."
"Putih.."
Dia membantuku berjalan di jalanan setapak yang semakin licin. Tanjakan curam berkali-kali harus kulewati.

"Kau sendiri di hutan seperti ini?"
Senyum, sambilku bayangkan wajahnya. Sosok tinggi, putih, besar, dan kokoh itu jelas di pelupuk mataku.

Aku kemari hanya untuk mencapai satu tujuan. Tak penting dengan siapa, dan bagaimana aku harus sampai.

Lagi-lagi, tanganku diapit jari-jarinya. Kuat. Kini nyanyian burung malam menemani langkah-langkah gontai kami yang mulai menyusuri lembah. 

Jalan setapak, jejak-jejak, dan semak-semak, juga bau lembab yang masih terus ada di sekitaran bahkan di daftar selanjutnya perjalanan kami.

Kunyalakan api pada ranting-ranting runtuh. Beruntung masih ada beberapa yang kering, tertutup batang tanaman yang lain.

Banyu, begitu nama yang dia sebutkan, sibuk dengan kerangka tenda yang sedang dia dirikan. Sambil tersenyum ke arahku sesekali.
"Berbahagialah, maka alam turut bersamamu."

Dia orang pertama yang kutemui sore ini, dia pula yang menguatkan jari-jarinya pada jari-jari lemahku. Dia yang mengantarkan malamku pada peluknya yang hangat dalam tenda kecil malam itu.

Semakin kuat inginku untuk menolak, semakin kuat hasratku untuk melemah. Tubuh gagah itu menghangatkan sepertiga malam ini dengan menopang tubuhku yang lelah.

"Kau tau tidak, banyak orang jahat berkeliaran di tengah hutan, di sepertiga malam seperti ini.."
Kuacuhkan suaranya. Kunikmati damainya suasana malam di kaki gunung ini. Tak bergeming, hanya kusunggingkan senyum dan kueratkan tanganku dipeluk bahunya.
"Aku tak peduli jika itu kau."

***

Matahari pagi menyapa tenda kami yang masih tertutup rapat. Abu ranting yang kubakar semalam menyisakan bau asap yang dipadamkan embun subuh hari.

Subuh tadi seharusnya aku sudah tak disini, tak memeluk tubuh kokoh itu lagi.

Mataku menerawang ke langit-langit tenda berwarna gelap itu, jauh...mengingat pertemuan kemarin sore. Lama.

Baru kusadari sepasang mata itu mengawasiku sejak tadi. Aroma nafas malam masih mengerubungi mulut-mulut kami. Dia menyapaku di pipi, lalu memelukku lagi.

"Selamat pagi, Putih.."
Kututup mataku, kunikmati pagiku lagi dan lagi. Banyu, begitu nama yang dia sebutkan kemarin sore, menutup matanya kembali, menandakan hal yang sama seperti yang kuinginkan. Kami menikmati pagi kami, lagi dan lagi.

Pukul delapan, entah siapa yang terlebih dahulu menyadari ini. Kami bangun dari buaian udara pagi dengan perut yang berbunyi.

Banyu, begitu nama yang dia sebutkan saat kami sama-sama berjabat, menyalakan kembali ranting-ranting kayu sisa dan membuat segelas teh seduh hangat. Aku merogoh isi tas mencari pasangannya.

"Ini, hangatkan tubuhmu dengan ini.."
Tegukan pertama memasuki tenggorokan menuju isi perutku, hangat. Walau tak sehangat peluknya malam itu, menurutku.

"Kemarilah.."
Dipeluknya aku lagi, di depan perapian. Kuteguk lagi, dan kurasakan hangat merambat keseluruh tubuhku. Kugigit separuh roti gandum sebagai pengurang rasa lapar pagi hari.

"Oh, ya.. belum kau jawab pertanyaanku kemarin sore. Kau sendiri di hutan seperti ini? Tak takut pada orang jahat?"
Aku tersenyum lagi. Kueratkan pelukan di pinggangnya.
"Seandainya kehidupan selalu indah seperti ini, aku ingin hidup hanya disini."
Dia tertawa. Mengelus kepalaku, mengacak-acak rambut sebahuku.
"Bangunlah. Ayo kita lanjutkan perjalanan. Tempat akhir tujuan sedang menunggu."

Pendakian sudah tak sesulit kemarin. Entah karena ada dia, atau entah karena keinginanku untuk cepat sampai kesana semakin besar bersamanya.

Beberapa kali dia membantuku memanjat tebing tinggi, melewati kubangan air sisa hujan kemarin siang, dan melompati tanah-tanah amblas yang licin dengan lumut di sekitarannya.

"Mau istirahat?"
Dia melihat ke arahku yang mulai sulit mengatur nafas. Matras yang tergulung di sebelah kanan tasnya, digelar di atas gundukan tanah setengah kering. Didudukkannya aku disana.

"Keras kepala."
Belum sehari bersama, dia berhasil menebak sifat burukku. Dan aku pun bisa menebak sifatnya.
"Terima kasih sudah menjagaku.. Kekasihmu pasti bahagia sekali.."
Dia tertawa lagi, mengelus kepalaku lagi, dan mengacak-acak rambut sebahuku lagi.
"Ya, dia pasti bahagia disana."
Matanya menerawang. Kulihat kelopak matanya sesekali berkedip, lama. Kemudian mengalir air dari sudut-sudut matanya.

"Ma-aa..."
Belum sempat kuselesaikan kata, dikecupnya tempat asal suara itu. Dia tersenyum di sela-sela pagutan. Air matanya menempel di pipiku, tertelan hingga ke tenggorokan.
Aku mencintainya.

Sudah usai lelahku. Aku daki lagi jalanan yang agak berbatu sambil sedikit merangkak karena licin. Dia menunggu di bawahku.

Lelaki itu memerhatikan jalanan yang kupilih-pilih sambil sebentar-sebentar memintaku berhati-hati.
"Awas kaki kirimu!"
Atau, "Jangan injak yang itu!"
Bahkan, "Pegang kayu yang itu!"

Suara beratnya membuatku aman. Perhatiannya membuat aku rindu akan kesalahan. Sesekali kuinjakkan kaki kiri di batuan berlumut tebal dan licin, hingga dia tergopoh-gopoh membantuku saat terjatuh. Sengaja memang, tetapi aku senang melihatnya seperti itu.

Lelaki itu, seseorang yang kutemui tak sengaja, aku mencintainya.

"Siapkan tenagamu, lima jam lagi sebelum sunset, kita harus bisa berdiri di sana!"
Tunjuknya ke puncak gunung yang terlihat semakin dekat daripada sebelumnya.

Siapapun kau disini, semenyenangkan inikah bila di nyata?

"Minum?"
Kualihkan pandangannya ke saku kiri tasku. Botol airku masih penuh, tandanya aku belum merasa haus sedikitpun. Teh hangat tadi pagi masih kusimpan di tenggorokan, memenuhi isi perutku.

Diteguknya air itu hingga seperempatnya. Tulang yang menyembul di tenggorokannya bergerak-gerak, naik-turun. Tersenyum, kuamati dia sesekali. Keringat menetes dari pelipis kanan dan kirinya, kuusap dengan jari-jari yang kemarin dia kuatkan diapitan jari-jarinya.

"Kau punya kekasih?" 
Aku tersenyum, kujawab dengan anggukan perlahan. Kulihat ada rasa iri di matanya.
"Kau."
Dia tersenyum. Mengelus kepalaku, mengecup keningku.
"Aku menemukanmu."
Bisiknya membuat air mata mengalir di pipiku.
Ya, aku mencintainya.

Tangan itu menuntunku berjalan kembali. Menyemangati lelahku hingga punah. Lelaki yang kutemui di sore hari itu, menemukanku dan memelukku tanpa henti.
Ya, dia mencintaiku.

Hampir hujan, kami berhenti di setengah perjalanan terakhir. Sunset hampir menjelang. Perjalanan tak bisa dilanjutkan. Beberapa pendaki berhenti dan membangun tenda di sekitaran tempat kami berdiri. Beberapa dari mereka menyapa kami, menawarkan sedikit pengisi perut dan botol-botol air yang utuh.

"Tak ada jalan lain, kita juga harus berhenti. Kita berkemah lagi malam ini, dengan mereka."
Aku sedikit kecewa karena tak bisa sampai tepat waktu. Sunset yang kami tunggu sudah lewat. 

"Pacaran?"
Seseorang di antara mereka mengajukan pertanyaan. Aku sedikit risih dengan itu.

Namun, dia menggenggam jari-jariku.
"Menikah."
Dia membuatku aman, lagi.
"Keren!" 
Yang lain bertepuk tangan, menyelamati kami yang hampir saja bingung harus bagaimana nanti.

Hujan deras mengguyur perkemahan dadakan kami malam ini. Semua pendaki mendiami tendanya masing-masing, termasuk aku dan dia. Di dalam tenda mini itu lagi kami berdiam diri. Kali ini benar-benar diam. Kikuk akibat omongan spontannya yang barusan.

Aku tidur memunggunginya, sedangkan dia melihatku dari belakang. Kurasakan rasa bersalahnya.

Tapi, walau bagaimanapun rasa senangku, bila tak diomongkan dulu, aku juga bisa kaku.

Menit-menit selanjutnya, hujan masih mengguyur dari luar tenda kami. Sepertinya dia lelah dengan rasa bersalahnya, dia pun memunggungiku. Tapi, aku luluh lalu memeluknya dari belakang.
"Maafkan aku telah menghukummu. Sekarang jangan hukum aku. Aku tau kau begitu biar aku aman malam ini..."

Dia menarik tanganku ke dadanya. Kemudian menciumi punggung tanganku sesekali.
"Terima kasih.."
Dia berbalik, tersenyum, lalu memelukku lebih erat lagi.

Hujan usai lima belas menit lalu, pendaki keluar dari tenda-tenda mereka. Gitar-gitar tua, suara-suara berat, dan bau kopi-kopi hangat menyeruak masuk ke dalam tenda kami. Malas rasanya untuk keluar. Hanya ingin terus memeluk seperti ini.

Seorang wanita yang tadi beberapa kali menyapaku, memanggil namaku dan Banyu dari luar tenda.
"Hey, pengantin baru! Kalian tidak engap di dalam sana? Ini ada kopi, jangan hanya menghangatkan tubuh dengan memeluukkk!!"
Teriakan wanita itu membuat riuh pendaki yang lain.

Banyu menggenggam tanganku, menenangkanku dari rasa kesal akan orang yang suka mengurusi kepentingan orang lain.

"Kau ingin tetap disini? Tak ingin memelukku di luar tenda?"
Aku tersenyum. Melepaskan pelukku pada lengan-lengan kokohnya. Dia duduk, lalu membuka tenda. Sebentar kemudian wanita tadi menarikku keluar tenda dan mengajakku duduk bersamanya. Banyu mengisyaratkanku lewat gerakan bibirnya.
"Pergilah, aku mengawasimu.."

Berjam-jam kami semua bernyanyi riang, kekikukan di antara aku dan pendaki-pendaki tadi mencair bersama hangatnya suasana yang mereka ciptakan bersama.

Banyu memerhatikanku dari seberang api unggun, di jejeran laki-laki lainnya. Bagai sepasang merpati kasmaran, rasanya tak ingin saling melepaskan.

Saat jam istirahat malam menjelang, dia berjalan ke arahku, meraih tanganku, dan membawaku menuju tenda. Tak dihiraukannya celotehan pendaki lain yang mengganggu.

"Kami duluan ya..." 
Ditutupnya tenda, dan dimatikannya lampu senter. Diselimutinya aku dengan lengan-lengan kokoh itu, erat, hingga hangat.

"Terjagalah saat pukul tiga, kita lanjutkan perjalanan, lalu saksikan matahari pagi bersama."
Kuanggukkan kepalaku yang menempel di dadanya. Kami tertidur dengan perasaan indah masing-masing.
Aku mencintainya.

Pukul tiga. Pendaki lain sibuk mengemas tenda-tenda mereka. Membuang sampah-sampah makanan dalam plastik sampah, lalu mengumpulkannya di sudut-sudut yang terlihat oleh pembersih hutan di siang hari.

Aku menunggui Banyu yang juga sedang mengemasi tenda bekas tidur kami semalam.
"Susu kotak?"
"Terima kasih.."
Disedotnya hingga gepeng. Lalu dibuangnya sembarangan.

"Ayo!"
Tanganku ditarik dengan semangat. Cerita-cerita seru tadi malam menyemangati kami pagi ini. Sabar, suami wanita yang memanggil aku dan Banyu di luar tenda tadi malam, menceritakan hal menarik yang membuat mata kami saling memandang.

"Aku dan dia bertemu disini tiga tahun lalu. Di tempat yang sekarang kita duduki ini, bukan begitu, Mah? Sepulang dari sini, dua bulan kemudian, kami menikah."
Wanita itu tersenyum, bahagia sekali, sepertiku.

Benar kata orang, sehabis hujan, akan terbit terang. Hujan tadi malam yang dingin, menyisakan kabut di perjalanan kami pagi ini. Namun setelah itu, hangat matahari di puncak gunung menerpa tubuh-tubuh beku kami. Matahari pagi ini benar-benar lebih indah dari matahari pagi biasanya.

Kulebarkan tanganku, kupeluk udara hangat itu berkali-kali. Mataku terpejam, segala yang terjadi sejak kemarin membayang jelas di pelupuk mata, bagaikan film yang diputar sesuai alur cerita.

Banyu, begitu nama yang dia sebutkan di awal kami dipertemukan, memeluk tubuhku dari belakang. Diucapkannya sebuah kalimat yang membuat jantung ini berhenti sejenak, lalu melanjutkan detaknya menjadi lebih cepat.

"Sehari berlalu, dan aku semakin mencintaimu. Di nyatanya duniaku, seperti inilah aku. Sepenuh hati akan menjagamu. Tak ingin pisah."
"Aku tak bisa berjanji. Tapi aku juga akan begitu. Tujuan awalku telah utuh, aku menemukanmu...."

Kami memeluk udara pagi bersama. Menghirup segarnya bersama. Di atas gunung ini, semua suka, cita, dan cinta, kami pupuki bersama. Kisah awal yang kami tutup, biarlah jadi kenangan masing-masing. Bukan rahasia, tapi tetaplah hidup untuk masa sekarang dan yang akan datang, bukan untuk masa kemarin dan yang telah berlalu. 

Kami mencintai cinta kami, dan pertemuan kami. Biarkan bagai sepasang merpati, kami mencintai, dan setia sampai nanti.

Seseorang di kaki gunung, aku mencintainya, dan dia mencintaiku.

Free Ty Cursors at www.totallyfreecursors.com
 

FRISTHYA PRATIWI Copyright © 2010 Design by Ipietoon Blogger Template Graphic from Enakei | web hosting